Ekonomi Indonesia pada Oktober 2025 mencatatkan inflasi bulanan sebesar 0,28%, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) naik dari 108,74 menjadi 109,04. Angka ini menjadi perhatian publik, terutama seiring membumbungnya harga komoditas yang langsung menyentuh kehidupan sehari-hari. Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, menyampaikan bahwa secara tahunan (year-on-year), inflasi mencapai 2,86%, sementara inflasi tahun kalender tercatat 2,10%.
Pendorong utama inflasi datang dari kenaikan harga emas perhiasan yang memberikan andil sebesar 0,21%. Kenaikan ini masuk dalam kelompok pengeluaran perawatan pribadi dan jasa lainnya—menggambarkan bagaimana aset simpanan seperti emas juga turut memengaruhi tekanan harga. Di tengah tren global harga emas yang fluktuatif, masyarakat diimbau lebih cermat dalam mengelola keuangan, terutama dalam pembelian aset jangka pendek yang berisiko tinggi.
Di sisi pangan, komoditas strategis seperti cabai merah menjadi penyumbang inflasi signifikan dengan andil 0,06%. Disusul telur ayam ras (0,04%) dan daging ayam ras (0,02%), kenaikan harga kebutuhan pokok ini langsung terasa di dapur rumah tangga. Kondisi ini mengingatkan pentingnya sistem distribusi yang stabil dan antisipasi cuaca dalam perencanaan produksi pangan, terutama saat memasuki musim hujan yang bisa mengganggu pasokan.
Secara spasial, inflasi terjadi di 26 provinsi. Banten mencatat inflasi tertinggi sebesar 0,57%, didorong oleh tekanan harga lokal yang intens. Sementara itu, Papua Pegunungan justru mengalami deflasi terdalam, yaitu -0,92%, menunjukkan dinamika ekonomi yang kompleks dan tidak seragam di seluruh penjuru negeri. Kebijakan ekonomi makro perlu tetap peduli terhadap karakteristik daerah, agar upaya pengendalian inflasi tidak hanya fokus di pulau Jawa, tapi juga inklusif terhadap daerah-daerah terluar.
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa inflasi bukan sekadar angka statistik, tetapi berdampak nyata pada daya beli dan kesejahteraan rakyat. Upaya pemerintah dan Bank Indonesia yang peduli dalam menjaga stabilitas harga harus didukung dengan kebijakan mikro yang responsif, seperti intervensi pasar dan bantuan langsung yang tepat sasaran. Masyarakat juga perlu dibekali literasi ekonomi agar bisa beradaptasi dengan dinamika harga.
Dalam situasi seperti ini, rasa peduli harus menjadi kompas kebijakan. Mulai dari petani, pedagang, hingga pengambil keputusan, semua pihak punya peran dalam menjaga ketahanan pangan dan stabilitas harga. Dengan sinergi yang kuat dan hati yang peka terhadap kondisi rakyat, kita bisa melewati tekanan ekonomi ini bersama—dengan kepala tegak, kantong terjaga, dan semangat saling membantu yang tak pernah padam.
